Adit, Pioneer Janis Batch 1 (Janisian Profile) |
Beberapa hari
setelahnya ternyata saya kembali diingatkan akan pikiran-pikiran tersebut, dan
bahkan, memaksa saya untuk mencari jawaban atas semua pertanyaan itu. Singkat
cerita, saya terpilih untuk mengikuti seleksi final dalam sebuah posisi
pekerjaan, yang kelak, jika saya terpilih akan membuat saya kembali ditempatkan
di kantor pusat, berdampingan dengan figur paling penting di organisasi tempat saya
bekerja. Pada seleksi ini dilakukan interview
dan presentasi studi kasus dalam bahasa inggris. Ternyata, saya gagal dalam
seleksi. Iya, gagal (udah gitu aja). Ada sedikit kekecewaan yang timbul, tetapi
sebagian besar bukan disebabkan oleh kegagalan saya dalam seleksi, karena
memang saya tidak terlalu berambisi untuk lolos. Kekecewaan itu lebih kepada ketidakmampuan
saya untuk menjawab sebuah pertanyaan yang diajukan saat interview: “What is your
biggest achievement in your life so far?”
Kemudian hening.
Untuk sesaat,
jantung saya pun berdetak lebih cepat. Saya langsung teringat akan
pikiran-pikiran liar yang saya alami beberapa hari lalu. Saya terdiam untuk
beberapa saat, tidak mampu untuk menemukan jawaban yang memuaskan, termasuk yang
memuaskan diri saya sendiri. Kedua interviewer
menunggu dengan tidak sabar, dan salah satunya mulai mengernyitkan alis. Saat
itu saya benar-benar tidak tahu apa yang harus saya katakan. Hal-hal yang bagi
orang lain merupakan pencapaian besar yang sudah saya capai bukanlah merupakan
sebuah pencapaian besar saat itu.
Berhasil diterima di STAN? Bekerja di
Kementerian Keuangan? Kami yang ada di ruangan ini seluruhnya adalah lulusan
STAN dan sudah jelas bekerja di Kementerian Keuangan. Menjadi siswa berprestasi
saat SMA? Hanya berprestasi di tingkat kota dan provinsi namun gagal di tingkat
nasional bukanlah prestasi yang layak saya sebut sebagai sebuah pencapaian
terbaik dalam hidup saya. Saya pun menjawab sekenanya menggunakan jawaban template yang sedikit mengaitkan hal itu
dengan orang tua saya. Pathetic,
untuk pertama kalinya saya menjawab seperti itu. Akibat dari jawaban saya yang general seperti itu, selama sisa waktu
yang ada interview itu menjadi sebuah
interview tanpa arah yang jelas, dan
saya pun tidak mampu untuk menunjukkan appeal
sesuai yang saya inginkan.
Seusai seleksi,
selama beberapa waktu dimana kami masih bersama-sama, saya mengobrol bersama
teman-teman yang berhasil lolos seleksi (maupun yang tidak). Setelah saya
teliti lebih lanjut, saya menjadi paham alasan kenapa mereka yang lolos dan
bukan saya. Mereka memiliki prestasi besar, yang menurut saya jauh lebih besar
dari apa yang sudah saya capai sejauh ini. Salah satu dari mereka sudah
berprestasi sampai ke level internasional sedari SMA, berperan aktif dalam
komunitas sosial, dan seorang debater
handal dalam bahasa Indonesia maupun bahasa inggris. Yang lainnya memiliki
kemampuan olah vocal yang luar biasa, juga seorang debater handal. Apabila kami
tidak memiliki ikatan dinas disini, mungkin ia sudah berhasil melaju ke tahap
final sebuah ajang olah vocal di salah satu televisi swasta (ia mengundurkan
diri ketika hanya tinggal beberapa langkah lagi karena saat itu kami
mendapatkan SK untuk ditempatkan di salah satu kota di Indonesia). Yang satu
lagi walaupun kurang baik ketika berkomunikasi dalam bahasa inggris tetapi
aktif dalam kegiatan komunitas sosial untuk daerahnya, serta terampil dalam
protocol pejabat. Ternyata salah satu hal yang menjadi kunci adalah “komunitas
sosial”. Disitu mereka benar-benar belajar banyak hal, seperti berbicara di
depan orang banyak, mengatur sesuatu, berorganisasi, bekerja dalam tim,
mengetahui indahnya berbagi dan lain-lain. Well,
achievement yang saya capai belum ada apa-apanya dibandingkan mereka,
mengikuti komunitas sosial pun belum pernah.
Hal yang membuat
masalah “achievement” itu semakin
merasuk dalam pikiran adalah ketika mendengarkan cerita salah seorang pejabat
ketika seleksi usai. Ia bercerita tentang betapa pentingnya prestasi dan juga
pendidikan bagi organisasi. Bahwa prestasi-prestasi itu akan dilihat oleh manajemen
pegawai dan diutilisasi sebaik mungkin. Ia juga bercerita tentang perjuangan
seorang pegawai di remote area yang
akhirnya berhasil mendapatkan beasiswa di luar negeri. Selain itu, ia mengingatkan
kami bahwa kami beruntung melakukan seleksi ini karena kemampuan kami telah
dicatat di pusat dan kami sedikit banyak mengetahui tentang bagaimana interview yang akan dilakukan jika kelak
kami berencana untuk mengambil beasiswa. Mengetahui hal itu, tetap saja ada hal
yang mengganggu dalam pikiran, karena mendapatkan beasiswa adalah target utama
saya dalam waktu dekat ini. Apabila kelak mencapai tahap interview lagi dan diajukan pertanyaan yang sama, apakah saya tetap
akan menjawab tanpa arah seperti itu?
Kegagalan dalam
seleksi ini adalah tamparan keras bagi saya dalam keinginan saya untuk
mendapatkan beasiswa. Ingin mendapatkan beasiswa tetapi tidak punya achievement yang bisa dibanggakan? Apakah
saya mampu mencapai achievement yang
mampu membuat saya merasa puas sedangkan hari demi hari saya lalui dengan begitu-begitu
saja? Apakah yakin saya akan mampu bersaing dengan mereka ketika mendapatkan
kesempatan lagi? Saya pun teringat kembali akan “komunitas sosial” tersebut. Ingin
membuat komunitas namun clueless, belum
ada yang mengajak untuk bergabung. Demikian juga untuk bergabung dalam sebuah komunitas.
Apalagi sudah beberapa tahun ini saya merantau dari kampung halaman di Bandar
Lampung. FYI, saat ini saya bekerja bukan
di sebuah kota besar, tapi di sebuah kota kecil bernama Kuala Tungkal. Hal itu
semakin menyempitkan peluang saya terkait hal tentang komunitas tersebut.
Setelah seleksi
usai, saya pun mudik ke Bandar Lampung (karena saat itu adalah H-1 dari hari
raya idul fitri). Di bandara Raden Inten II, saya dijemput oleh keluarga saya,
salah satunya adalah Rizkur, saudara sepupu saya. Dalam perjalanan, seperti biasa
kami pun bercerita banyak hal. And… Guess what? Tuhan menunjukkan kuasanya dengan
memberikan jalan untuk semua hal yang mengganggu dalam pikiran saya. Ternyata Rizkur
pun sedang terpikir akan hal yang kurang lebih sama seperti apa yang saya
pikirkan. Terlepas dari fakta bahwa ia merupakan salah satu orang yang telah
berangkat ke Australia selama dua bulan dalam program PPAN dari Kementerian
Pemuda dan Olahraga, ia tersadar bahwa selama ini ia belum pernah memberikan
kontribusi untuk daerahnya sendiri. Setelah mengikuti program “Ekspedisi
Nusantara Jaya” dan bertemu orang-orang dari seluruh Indonesia yang sebagian
besar aktif dalam komunitas sosial, ia semakin tersadar bahwa selama ini ia
hanya sekadar “menerima” dan bukannya “memberi”.
Ia pun mengajak
saya untuk menjadi pioneer dalam
sebuah komunitas sosial yang (direncanakan untuk) bernama JANIS, singkatan dari
Jalan Inovasi Sosial. Komunitas ini nantinya akan bergerak untuk memberikan
inovasi sederhana namun tepat guna bagi masyarakat, khususnya di daerah tertinggal
dan kepulauan. Tanpa berpikir dua kali, saya pun mengiyakan ajakan itu.
Singkat cerita,
terkumpullah 13 orang Janisian (sebutan untuk para volunteer di JANIS) dengan latar belakang yang berbeda-beda,
diantaranya adalah photographer, inline
skating instructor, teacher, dan lain-lain. Sebagian besar dari mereka
belum pernah saya kenal sebelumnya. Tetapi, hal itu tidak membuat pertemuan
pertama kami menjadi kaku. Sebaliknya, kami cepat sekali menjadi akrab dan
berbaur satu sama lain. Pada tanggal 22-23 Juli 2015, kami pun bersama-sama
berangkat ke Pulau Sebesi untuk melakukan observasi. Sangat disayangkan kami
tidak dapat melakukan lebih banyak karena waktu yang sangat sempit. Tetapi hal
yang telah dilakukan telah menjadi langkah awal yang sangat baik bagi masa
depan komunitas ini. Setelah pulang dari Pulau Sebesi, kekeluargaan kami pun
semakin erat dan setiap orang telah memiliki persepsi yang sama untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
Pada akhirnya,
saya bangga dan beruntung ada di dalam komunitas ini. Komunitas ini memang
masih hijau. Tetapi perlu diingat bahwa selalu ada yang pertama untuk semua
hal. Melihat potensi yang ada, komunitas ini dapat berkontribusi banyak di masa
depan. Saya juga mendapatkan lebih banyak dari apa yang saya bayangkan. Walau
baru sebentar para Janisian ini bertemu tetapi sudah banyak hal positif yang
terlihat. Selain mendapat keluarga baru, saya menjadi diingatkan kembali akan
indahnya berbagi. Ditambah dengan kebahagiaan saat melihat senyuman di wajah
orang yang telah merasa terbantu. Lokasi saya yang lebih
sering tidak berada di Bandar Lampung pun rasanya bukan menjadi masalah besar
mengingat komunitas ini lebih butuh ide-ide dan inovasi. Dengan teknologi saat
ini, saya dapat terus berkontribusi dari jauh. Hal penting yang menjadi catatan
adalah hal ini dapat menjadi tambahan untuk CV (Curriculum Vitae) saya, dan menjadi sebuah “achievement” yang dapat saya banggakan kelak, dengan catatan, saya
tidak berhenti hanya sampai disini, tapi terus berusaha memberikan yang
terbaik. Selain itu, ini adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang achievement yang selama ini kesulitan
untuk saya jawab. Karena kelak, ketika saya diajukan pertanyaan yang sama
tentang “apa pencapaian terbesar dalam hidup kamu?” saya akan menjawabnya
dengan lancar, dimulai dengan: “Saya adalah pioneer
JANIS…….”