Pertanyaan Sederhana yang Menyadarkan Jiwa

Adit, Pioneer Janis Batch 1
(Janisian Profile)
“Hidup saya kok gini-gini aja?” “setelah hidup sekian tahun, apa pencapaian terbesar dalam hidup saya?” dan “apakah saya udah cukup ngasih manfaat untuk orang lain dan bukan hanya sekadar menerima?”. Tiba-tiba pertanyaan itu terlintas di dalam pikiran, sesaat setelah selesai menonton sebuah drama serial. After-effect seperti pikiran yang melanglang buana begitu sudah biasa saya alami setelah selesai menonton sesuatu. Well, tidak lantas saat itu juga saya langsung ngebet mencari jawabannya. Semua saya biarkan hanya menjadi pikiran liar, sebuah pertanyaan tanpa jawaban yang di kemudian hari akan terlupakan. Apalagi saat itu saya hanya menjalani hari demi hari dengan biasa saja. Bekerja dari pagi sampai sore, menonton film, mendengarkan musik, berolahraga, melakukan hal yang menghibur seperti bermain game, and so onTidak ada sesuatu yang “wah” terjadi saat itu.

Beberapa hari setelahnya ternyata saya kembali diingatkan akan pikiran-pikiran tersebut, dan bahkan, memaksa saya untuk mencari jawaban atas semua pertanyaan itu. Singkat cerita, saya terpilih untuk mengikuti seleksi final dalam sebuah posisi pekerjaan, yang kelak, jika saya terpilih akan membuat saya kembali ditempatkan di kantor pusat, berdampingan dengan figur paling penting di organisasi tempat saya bekerja. Pada seleksi ini dilakukan interview dan presentasi studi kasus dalam bahasa inggris. Ternyata, saya gagal dalam seleksi. Iya, gagal (udah gitu aja). Ada sedikit kekecewaan yang timbul, tetapi sebagian besar bukan disebabkan oleh kegagalan saya dalam seleksi, karena memang saya tidak terlalu berambisi untuk lolos. Kekecewaan itu lebih kepada ketidakmampuan saya untuk menjawab sebuah pertanyaan yang diajukan saat interview: “What is your biggest achievement in your life so far?

Kemudian hening.

Untuk sesaat, jantung saya pun berdetak lebih cepat. Saya langsung teringat akan pikiran-pikiran liar yang saya alami beberapa hari lalu. Saya terdiam untuk beberapa saat, tidak mampu untuk menemukan jawaban yang memuaskan, termasuk yang memuaskan diri saya sendiri. Kedua interviewer menunggu dengan tidak sabar, dan salah satunya mulai mengernyitkan alis. Saat itu saya benar-benar tidak tahu apa yang harus saya katakan. Hal-hal yang bagi orang lain merupakan pencapaian besar yang sudah saya capai bukanlah merupakan sebuah pencapaian besar saat itu. 

Berhasil diterima di STAN? Bekerja di Kementerian Keuangan? Kami yang ada di ruangan ini seluruhnya adalah lulusan STAN dan sudah jelas bekerja di Kementerian Keuangan. Menjadi siswa berprestasi saat SMA? Hanya berprestasi di tingkat kota dan provinsi namun gagal di tingkat nasional bukanlah prestasi yang layak saya sebut sebagai sebuah pencapaian terbaik dalam hidup saya. Saya pun menjawab sekenanya menggunakan jawaban template yang sedikit mengaitkan hal itu dengan orang tua saya. Pathetic, untuk pertama kalinya saya menjawab seperti itu. Akibat dari jawaban saya yang general seperti itu, selama sisa waktu yang ada interview itu menjadi sebuah interview tanpa arah yang jelas, dan saya pun tidak mampu untuk menunjukkan appeal sesuai yang saya inginkan.

Seusai seleksi, selama beberapa waktu dimana kami masih bersama-sama, saya mengobrol bersama teman-teman yang berhasil lolos seleksi (maupun yang tidak). Setelah saya teliti lebih lanjut, saya menjadi paham alasan kenapa mereka yang lolos dan bukan saya. Mereka memiliki prestasi besar, yang menurut saya jauh lebih besar dari apa yang sudah saya capai sejauh ini. Salah satu dari mereka sudah berprestasi sampai ke level internasional sedari SMA, berperan aktif dalam komunitas sosial, dan seorang debater handal dalam bahasa Indonesia maupun bahasa inggris. Yang lainnya memiliki kemampuan olah vocal yang luar biasa, juga seorang debater handal. Apabila kami tidak memiliki ikatan dinas disini, mungkin ia sudah berhasil melaju ke tahap final sebuah ajang olah vocal di salah satu televisi swasta (ia mengundurkan diri ketika hanya tinggal beberapa langkah lagi karena saat itu kami mendapatkan SK untuk ditempatkan di salah satu kota di Indonesia). Yang satu lagi walaupun kurang baik ketika berkomunikasi dalam bahasa inggris tetapi aktif dalam kegiatan komunitas sosial untuk daerahnya, serta terampil dalam protocol pejabat. Ternyata salah satu hal yang menjadi kunci adalah “komunitas sosial”. Disitu mereka benar-benar belajar banyak hal, seperti berbicara di depan orang banyak, mengatur sesuatu, berorganisasi, bekerja dalam tim, mengetahui indahnya berbagi dan lain-lain. Well, achievement yang saya capai belum ada apa-apanya dibandingkan mereka, mengikuti komunitas sosial pun belum pernah.

Hal yang membuat masalah “achievement” itu semakin merasuk dalam pikiran adalah ketika mendengarkan cerita salah seorang pejabat ketika seleksi usai. Ia bercerita tentang betapa pentingnya prestasi dan juga pendidikan bagi organisasi. Bahwa prestasi-prestasi itu akan dilihat oleh manajemen pegawai dan diutilisasi sebaik mungkin. Ia juga bercerita tentang perjuangan seorang pegawai di remote area yang akhirnya berhasil mendapatkan beasiswa di luar negeri. Selain itu, ia mengingatkan kami bahwa kami beruntung melakukan seleksi ini karena kemampuan kami telah dicatat di pusat dan kami sedikit banyak mengetahui tentang bagaimana interview yang akan dilakukan jika kelak kami berencana untuk mengambil beasiswa. Mengetahui hal itu, tetap saja ada hal yang mengganggu dalam pikiran, karena mendapatkan beasiswa adalah target utama saya dalam waktu dekat ini. Apabila kelak mencapai tahap interview lagi dan diajukan pertanyaan yang sama, apakah saya tetap akan menjawab tanpa arah seperti itu?

Kegagalan dalam seleksi ini adalah tamparan keras bagi saya dalam keinginan saya untuk mendapatkan beasiswa. Ingin mendapatkan beasiswa tetapi tidak punya achievement yang bisa dibanggakan? Apakah saya mampu mencapai achievement yang mampu membuat saya merasa puas sedangkan hari demi hari saya lalui dengan begitu-begitu saja? Apakah yakin saya akan mampu bersaing dengan mereka ketika mendapatkan kesempatan lagi? Saya pun teringat kembali akan “komunitas sosial” tersebut. Ingin membuat komunitas namun clueless, belum ada yang mengajak untuk bergabung. Demikian juga untuk bergabung dalam sebuah komunitas. Apalagi sudah beberapa tahun ini saya merantau dari kampung halaman di Bandar Lampung. FYI, saat ini saya bekerja bukan di sebuah kota besar, tapi di sebuah kota kecil bernama Kuala Tungkal. Hal itu semakin menyempitkan peluang saya terkait hal tentang komunitas tersebut.

Setelah seleksi usai, saya pun mudik ke Bandar Lampung (karena saat itu adalah H-1 dari hari raya idul fitri). Di bandara Raden Inten II, saya dijemput oleh keluarga saya, salah satunya adalah Rizkur, saudara sepupu saya. Dalam perjalanan, seperti biasa kami pun bercerita banyak hal. And… Guess what? Tuhan menunjukkan kuasanya dengan memberikan jalan untuk semua hal yang mengganggu dalam pikiran saya. Ternyata Rizkur pun sedang terpikir akan hal yang kurang lebih sama seperti apa yang saya pikirkan. Terlepas dari fakta bahwa ia merupakan salah satu orang yang telah berangkat ke Australia selama dua bulan dalam program PPAN dari Kementerian Pemuda dan Olahraga, ia tersadar bahwa selama ini ia belum pernah memberikan kontribusi untuk daerahnya sendiri. Setelah mengikuti program “Ekspedisi Nusantara Jaya” dan bertemu orang-orang dari seluruh Indonesia yang sebagian besar aktif dalam komunitas sosial, ia semakin tersadar bahwa selama ini ia hanya sekadar “menerima” dan bukannya “memberi”.

Ia pun mengajak saya untuk menjadi pioneer dalam sebuah komunitas sosial yang (direncanakan untuk) bernama JANIS, singkatan dari Jalan Inovasi Sosial. Komunitas ini nantinya akan bergerak untuk memberikan inovasi sederhana namun tepat guna bagi masyarakat, khususnya di daerah tertinggal dan kepulauan. Tanpa berpikir dua kali, saya pun mengiyakan ajakan itu.

Singkat cerita, terkumpullah 13 orang Janisian (sebutan untuk para volunteer di JANIS) dengan latar belakang yang berbeda-beda, diantaranya adalah photographer, inline skating instructor, teacher, dan lain-lain. Sebagian besar dari mereka belum pernah saya kenal sebelumnya. Tetapi, hal itu tidak membuat pertemuan pertama kami menjadi kaku. Sebaliknya, kami cepat sekali menjadi akrab dan berbaur satu sama lain. Pada tanggal 22-23 Juli 2015, kami pun bersama-sama berangkat ke Pulau Sebesi untuk melakukan observasi. Sangat disayangkan kami tidak dapat melakukan lebih banyak karena waktu yang sangat sempit. Tetapi hal yang telah dilakukan telah menjadi langkah awal yang sangat baik bagi masa depan komunitas ini. Setelah pulang dari Pulau Sebesi, kekeluargaan kami pun semakin erat dan setiap orang telah memiliki persepsi yang sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Pada akhirnya, saya bangga dan beruntung ada di dalam komunitas ini. Komunitas ini memang masih hijau. Tetapi perlu diingat bahwa selalu ada yang pertama untuk semua hal. Melihat potensi yang ada, komunitas ini dapat berkontribusi banyak di masa depan. Saya juga mendapatkan lebih banyak dari apa yang saya bayangkan. Walau baru sebentar para Janisian ini bertemu tetapi sudah banyak hal positif yang terlihat. Selain mendapat keluarga baru, saya menjadi diingatkan kembali akan indahnya berbagi. Ditambah dengan kebahagiaan saat melihat senyuman di wajah orang yang telah merasa terbantu. Lokasi saya yang lebih sering tidak berada di Bandar Lampung pun rasanya bukan menjadi masalah besar mengingat komunitas ini lebih butuh ide-ide dan inovasi. Dengan teknologi saat ini, saya dapat terus berkontribusi dari jauh. Hal penting yang menjadi catatan adalah hal ini dapat menjadi tambahan untuk CV (Curriculum Vitae) saya, dan menjadi sebuah “achievement” yang dapat saya banggakan kelak, dengan catatan, saya tidak berhenti hanya sampai disini, tapi terus berusaha memberikan yang terbaik. Selain itu, ini adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang achievement yang selama ini kesulitan untuk saya jawab. Karena kelak, ketika saya diajukan pertanyaan yang sama tentang “apa pencapaian terbesar dalam hidup kamu?” saya akan menjawabnya dengan lancar, dimulai dengan: “Saya adalah pioneer JANIS…….”